Jumat, 31 Januari 2014

Aku masih duduk terdiam. Menatapi ribuan peluh terjatuh dari langit. Merasakan belaian kasar angin yang tak henti memporak porandakan ayu-nya taman rumahku.
Ternyata aku pun merasakan hujan. Hujan dipipiku. Menciptakan sungai kecil syarat akan kesedihan.
Dalam. Begitu dalam. Jangan, jangan tanyakan seberapa dalam. Aku takan pernah bisa mengetahuinya.
Ya, antara benci dan bahagia melihat ketika beribu titik air berjatuhan itu. Hujan, kau yang mengantarkanya ke ujung hidupnya. Kau yang mengantarkannya pada sebuah kedamaian. Kedamaian abadi. Tapi kau yang mengantarkanku pada sebuah kepahitan. Pahit. Sungguh pahit. Jangan tanyakan seberapa pahit yang kurasakan. Karena aku pun tak pernah mengetahuinya.
Yang ku tahu sekarang aku kehilangan. Kehilangan apa yang ku pertahankan, kehilangan apa yang ku jaga, kehilangan apa yang kucintai. Meski tahu itu hanya sebuah titipan. Tidak, bukan hanya sebuah titipan. Berharga, sangat berharga. Berharga tak ternilai.
Tapi siapalah aku, aku hanya seorang wanita. Tak lebih dari itu. Sedangkan Dia lah penguasa. Tapi sungguh, apakah aku harus secepat ini merasakan kehilangan Tuhan? Jika iya, aku tak pernah memintanya kembali. Tapi tolong, Tuhan, bisakah Kau membahagiakan dia yang di sana? :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar