Minggu, 29 Desember 2013

Terima kasih :)



5 November 2013

Tuhan menjawab pertanyaanku. Ah, aku tahu sekarang jalan ceritaMu Tuhan. Untuk sekarang tepatnya, entah ke depan seperti apa.

Tak habis fikir, pagi buta kamu menyatakan serangkaian kalimat yang cukup membuat mataku yang sempat ingin beristirahat dari pekerjaannya(?) menjadi seratus persen berbanding terbalik. Kalimat yang sebenarnya ku harapkan selama ini, meski kadang aku menerbangkan harapan itu bersama angin yang selalu menerpaku, saat itu kamu ucapkan tepat di samping ku.

Terima kasih, telah membuatku berhenti menunggu. Terima kasih telah menjawab keraguanku.  Terima kasih telah menyebut aku sebagai ‘kekasih’. 

2 November 2013

2 November 2013

mungkin ini sebuah tulisan singkat yang cukup patut untuk ku rekam sejelas mungkin dalam memoriku. 

            2 November, adalah kali pertama aku pergi berdua dengannya. Jogja. Manis bukan, kota yang kondang akan berbagai tempatnya yang cukup menarik perhatian banyak orang.

Perjalanan awal yang manis :)

            Kali pertama aku memeluknya, walau hanya untuk sekedar pegangan agar aku tak terjatuh dari kendaraan. Tapi, aku belum pernah melakukannya dengan laki-laki lain bahkan dengan ayah ataupun kakakku sekalipun. Lagi-lagi dia laki-laki pertama.

 Aku berjalan jauh cukup jauh dengannya. Tak banyak hal yang aku lakukan di sana. Hanya obrolan sederhana yang mengisi.
            Sad ending. Ah, mengapa cerita manis ini berubah menjadi cerita yang menyedihkan L entah aku yang memulai atau dia. Mungkin aku yang masih tak bisa menerima. Aku yang masih belum bisa mengerti. Atau dia yang memulai? entahlah yang jelas malam itu, dalam sekejap menjadi mimpi buruk yang tak pernah ku inginkan kehadirannya.

            Diam.
            5 menit..
            15 menit..
            30 menit..
            1 jam..
            1 jam 30 menit. atau bahkan lebih lama dari yang ku kira.

            Selama itu kah aku bungkam? Merasakan begitu sesaknya keadaan. Meratapi kebodohan yang seharusnya tak ku ciptakan. Membiarkannya dikuasai amarahnya. Membiarkan dia larut dalam kekecewaan karenaku. Sungguh, bukan akhir yang seperti ini yang aku inginkan. Tapi bodohnya aku tetap saja diam, diam dan diam.

Semua yang ku fikir akan bahagia, tak ku sangka berakhir luka. Maafkan aku, menjadi perusak ceritamu.